Dulu waktu masih SMA, sering sekali buka-buka buku bahasa Indonesia untuk baca puisi, banyak puisi yang menarik, ajaib, susah dimengerti dan abstrak sama sekali. tapi entah mengapa, guru bahasa Indonesia selalu sok tahu mengartikan puisi dari sang pembuatnya menjadi sebuah analisis puisi yang entah memang benar atau tidak, atau entah memang kesotoyan guru bahasa Indonesia saya. hahahaha.
Tapi, ada satu puisi yang selalu saya ingat, dan merupakan favorit saya sampai saat ini. judulnya Balada ibu yang dibunuh karya WS. Rendra.
Ibu musang di lindung pohon tua meliang
bayinya dua ditinggal mati lakinya
bulan sabit terkait malam memberita datangnya
waktu makan bayi-bayinya mungil sayang
matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan harian atas nyawa
burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa
menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga
membumbung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba
oleh lengking pekik yang lebih menggigilkan pucuk-pucuk daun
tertangkap musang betina dibunuh esok harinya
tiada pulang ia yang mesti rampas rejeki hariannya
ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur pula dedaun tua
tiada tahu akan merataplah kolik meratap juga
dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin Tenggara
lalu satu ketika di pohon tua meliang
matilah anak-anak musang, mati dua-duanya
dan jalannya semua peristiwa
tanpa dukungan satu dosa, tanpa
kasihan ya? memang kasihan sekali. kalau disuruh analisis yang akan saya kasih ya cuman cerita seorang ibu musang mencari makan, mati, anaknya kelaparan, mati. selesai.
saya senang dengan puisi ini karena mengingatkan saya bahwa kematian kita tidak akan pernah ada artinya di dunia, mati ya matilah. tak akan ada penolong. dunia terus berputar. berputar dan berputar
begitulah.daftar pustaka :
-Buku Balada orang-orang tercinta (W. S . Rendra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar